Desa
Tenganan merupakan salah satu desa, dari tiga desa Bali Aga, selain Desa
Trunyan dan Desa Sembiran di
Pulau Dewata Bali. Di kawasan ini, terdapat 3 desa Tenganan antara lain desa
Tenganan Pegeringsingan, desa
Tenganan Dauh Tukad, dan desa Tenganan Dangin Tukad. Desa Tenganan
Pegringsingan inilah, yang merupakan fokus penelitian kajian, dari serangkaian
kegiatan Kajian Peninggalan Sejarah, Rombel Ilmu Sejarah, angkatan 2012, di
Pulau Dewata Bali. Lokasi Desa Tenganan Pegeringsingan, terletak di
Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, sekitar 17 km dari Kota Amlapura –
ibukota kabupaten –, 5 km dari kawasan pariwisata Candi Dasa, dan sekitar 65 km
dari Kota Denpasar.
Kata Tenganan berasal dari kata
"tengah" atau
"ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih
dalam". Kata tersebut
berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah
perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan
Bukit Timur (Bukit Kangin).
Pola kehidupan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan mencerminkan kebudayaan dan
adat istiadat desa Bali Aga ( pra Hindu ) yang berbeda dari desa-desa
lain di Bali. Bali
Aga adalah desa yang masih mempertahankan
pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat yang diwariskan nenek moyang
mereka. Masyarakat Bali Aga di anggap sebagai sebuah masyarakat yang telah
mendiami Pulau Bali sebelum datangnya gelombang migrasi dari Pulau Jawa dan
sebuah masyarakat yang tidak terpengaruh oleh Kerajaan Majapahit.
Desa Tenganan Pegringsingan adalah sebuah desa di Bali yang masih sangat
asri dan tidak terlalu tersentuh oleh zaman. Walaupun sekarang sudah zaman
modern, dimana setiap rumah bergaya eropa dan penduduk mulai melupakan
budayannya, di Desa Tenganan kita masih dapat melihat kehidupan masyarakat pada
zaman dahulu yang hidup dengan sederhana dan memanfaatkan alam dengan baik.
Desa Tenganan Pegringsingan
memiliki aturan desa (awig-awig)
yang harus dipatuhi oleh seluruh warga desanya. karena apabila dilanggar maka warga
tersebut tidak diperbolehkan menjadi krama ( warga ) desa, artinya bahwa
ia harus keluar dari Desa Tenganan.
Sebagai desa Bali Aga, Tenganan
menyimpan banyak tradisi unik yang menarik untuk di teliti dan dipelajari.
Keunikan tersebut diantaranya mengenai kekuasaan desa adat atas tanah atau yang
disebut hak pertuanan desa. Tanah-tanah desa dikuasai sepenuhnya oleh desa adat untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan
desa dan warganya. Setiap warga tidak boleh menjualnya kepada orang luar desa Tenganan.
Keunikan lain yang terdapat di
desa Tenganan adalah bentuk perumahannya yang dikenal dengan nama perumahan karang. Setiap rumah
warganya sejajar ke arah utara selatan dan semuanya
menghadap ke jalan utama desa (awangan). Ada tiga awangan di
desa ini. Ada awangan barat, awangan tengah dan awangan timur.
Selain itu, desa Tenganan
memiliki atraksi budaya yang sering digelar saat upacara adat seperti upacara Mulan Saat Usaba
Kasa yaitu pertunjukkan musik tradisional selonding
sejenis orkestra, Upacara Mulan Daha yaitu pertunjukkan di mana para muda-mudi desa Tenganan menampilkan
busana kain geringsing, dan upacara yang
paling terkenal adalah Mekare-kare atau yang lebih di kenal dengan upacara
Perang Pandan. Upacara Perang Pandan yaitu pertunjukkan yang menampilkan dua lelaki yang sedang berperang
dengan memakai kostum/kain adat
tenganan, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan
perisai untuk melindungi diri.
Mekare-kare atau perang pandan
dilakukan warga Tenganan pada setiap tahunnya sebagai
cara untuk menunjukkan seorang pemuda yang telah dewasa. Mereka berperang dengan menggunakan pandan
berduri yang dipukulkan kepada lawannya. Setiap
peserta hanya mengenakan sarung (kamen) tanpa memakai baju.
Kekhasan lain dari Tenganan
adalah kain geringsing yang hanya diproduksi di Tenganan.
Kain geringsing dibuat dari bahan kapas Bali yang dipintal sendiri oleh warga setempat. Setelah menjadi
benang, bahan tersebut kemudian di-bebet menurut motifnya. Untuk bahan
pewarnaannya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dicelupkan/direndam sekitar satu
bulan.Warga setempat menggunakan kain geringsing untuk keperluan upacara tradisional. Motif kain geringsing terdiri dari
3 warna yaitu merah (mencerminkan Dewa Brahma), warna putih (mencerminkan Dewa Wisnu), dan warna
hitam (mencerminkan Dewa Siwa). Selain kain
geringsing, kerajinan khas desa Tenganan adalah anyaman yang terbuat dari pohon ate dan kerajinan lontar yang
berbentuk kalender Bali dan cerita Ramayana.
Desa Tenganan Pegringsingan ini dapat bertahan dari arus perubahan
jaman yang sangat cepat dari
teknologi dan modernisasi. Walaupun sarana dan prasarana seperti listrik, alat
komunikasi, kendaraan bermotor dll masuk
ke Desa Tenganan ini, tetapi rumah dan adat tetap dipertahankan seperti aslinya yang tetap eksotik. Hal Ini
dikarenakan Masyarakat Tenganan mempunyai peraturan
adat desa yang sangat kuat, yang mereka sebut dengan awig-awig yang sudah mereka tulis sejak abad 11 dan
sudah diperbaharui pada Tahun 1842.
Desa Tenganan tetap saja
berdiri kokoh tidak peduli dengan perubahan jaman dengan tetap bertahan dengan tiga
balai desanya dan rumah adat yang berderet yang
sama persis satu dengan lainnya. Dan tidak hanya itu didesa ini keturunan juga dipertahankan dengan perkawinan
antar sesama warga desa, Oleh karena itu Desa
Tenganan tetap tradisional dan eksotik, walaupun Masyarakat Tenganan menerima masukan dari dunia luar tetapi
tetap saja tidak akan cepat berubah, karena
peraturan desa adat atau awig-awig mempunyai peranan yang sangat penting terhadap masyarakat Desa Tenganan. Pada
saat ini kita dapat menyaksikan dan melihat aktivitas, tingkah laku warga dan adat
budaya tradisional mereka yang amat kental. Maka pantaslah jika mereka disebut
dengan sebutan Bali Aga (bali Asli).
Sumber: KPS Sejarah 1 Universitas Negeri Semarang Jurusan Sejarah Prodi Ilmu Sejarah 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar